Jumat, 16 Maret 2012

Karena Psikologi Ingin Dimengerti

Di suatu hari yang indah, kamu sedang berbicara oleh orang yang baru saja kamu kenal...

Stranger: “Mas, kuliah jurusan apa?”
Gue: “Psikologi.”
Stranger: “Wah, bisa baca saya, dong?”
Dan, kemudian hening...

Ini adalah satu dari sekian percakapan yang pasti pernah dialami oleh mahasiswa, dosen, dan praktisi psikologi se-Indonesia. Kalimat sebelumnya tentu didukung oleh fakta yang dikumpulkan secara tidak ilmiah dan data yang tidak faktual.

Tapi ngaku, deh. Kamu yang telah membaca percakapan diatas pasti pernah berada di situasi seperti itu, kan? Minimal, ketika kamu membacanya, kamu telah tersenyum, tertawa kecil atau bahkan geleng-geleng melihat percakapan diatas (loh, kok jadi terkesan maksa ini? Abaikan, abaikan).

Bila ilmu Psikologi seorang manusia, mungkin dia udah bikin lagu berjudul Karena Psikologi Ingin Dimengerti. Makanya, untuk ‘sedikit’ menghibur psikologi yang sedang galau, saya ingin ‘sedikit’ sharing nih tentang psikologi! Persiapkan diri anda, buka pikiran anda, and here we go...


Psikologi versi alay: KnP c11h QmOh 9k mW n9eRti1n QuwH?


Pertanyaan yang sederhana.. Apa sih Psikologi itu? Banyak definisinya cuy. Tapi gue ambil dua aja yah.

Secara etimologis, kata psikologi terdiri dari dua kata, yaitu psyche yang berarti jiwa atau ruh, dan logos yang berarti ilmu atau ilmu pengetahuan. Dengan demikian, psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang jiwa (Baharuddin, 2007). Ada juga dari Edaward E. Smith dkk. (2003) yang mengatakan bahwa Psikologi adalah kajian ilmiah tentang perilaku dan proses mental. 

Kajian ilmiah, saudara-saudara! Omong-omong soal kajian ilmiah, sudah pasti didapatnya dari penelitian ilmiah. Muhammad Idrus (2009) mengatakan bahwa Penelitian ilmiah itu didasari pada tiga asumsi yaitu: (1) Klasifikasi; objek penelitian itu bisa dibagi-bagi menurut jenis, bentuk, dan fungsinya. (2) Tidak berubah dalam jangka waktu tertentu. (3) Determinisme; sesuatu terjadi bukan karena kebetulan, tapi karena ada penyebabnya.

Jadi, psikologi bukanlah ilmu yang berbicara atas pandangan atau keyakinan yang ada, melainkan berbicara atas fakta dan data yang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Psikologi nggak akan bilang bahwa hari ini kamu sial karena kamu mempunyai bintang Libra, atau lebih cocok kerja di air karena perhitungan weton kamu.

Dulu psikologi bukanlah sebuah ilmu pengetahuan melainkan bagian dari ilmu filsafat. Semua itu berubah ketika Wilhelm Maximilian Wundt membuat sebuah laboratorium pertama untuk mengkaji ilmu psikologi pada tahun 1879 di University of Leipzig, Jerman. Wundt sendiri dijuluki sebagai “father of experimental psychology”. Dari laboratorium tersebut lah psikologi menjadi sebuah ilmu yang berkembang dan bisa terukur. Dari laboratorium itu juga mulai bermunculan aliran-aliran psikologi awal seperti Fungsionalisme, Strukturalisme, Behaviorisme, Gestalt, dan Psikoanalisa. Kerennya, aliran-aliran awal ini masih berpengaruh terhadap bagaimana psikologi saat ini diteliti dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Tapi untuk mengetahui lebih jelas aliran-aliran ini apa maksudnya kita bahas lain kali, oke? ;-)

Wilhelm Maximilian Wundt (1832-1920).
Om yang harus para psikolog cium  pipinya berkat jasa beliau terhadap ilmu psikologi
Kembali ke laptop.

Dari dulu sampai sekarang, psikologi mempunyai pembicaraan yang masih hot di kalangan praktisi psikologi, yaitu nature dan nurture. Perdebatan mengenai nature dan nurture memusatkan kepada pertanyaan apakah kemampuan seorang manusia sudah terbawa sejak lahir atau didapat melalui pengalaman. Pandangan nature berpendapat bahwa manusia yang lahir ke dunia memiliki bawaan pengetahuan dan pemahaman tentang realitas. Sementara pandangan nurture berpendapat bahwa pengetahuan didapat melalui pengalaman dan interaksi dengan dunia (Edward dkk, 2003). Yang manakah yang benar? Yah, masih ribut sih sampai sekarang. Hehehe.. 

Kalo menurut gue yang masih belom cukup banyak berilmu ini, kayaknya nature dan nurture memang sama-sama punya porsi dalam menciptakan kemampuan seorang manusia. Nih, coba bayangkan...

Bayangkan kamu hidup di sebuah masyarakat dimana orang-orang tidak percaya hantu. Semua orang berpikir rasional dan mempunyai penjelasan terhadap fenomena-fenomena yang ‘dianggap’ magis. 

Pertanyaanya, percayakah kamu sama hantu? Nggak mungkin, dong. Karena kamu nggak pernah mendapatkan pemahaman tentang hantu dan hal-hal magis dari lingkungan sekitarmu. So pasti konsep tentang hantu dan hal-hal yang berbau magis nggak akan pernah kamu temukan.

Kembali lagi, mari kita berandai-andai..

Andaikan seorang peneliti menempatkan bayi manusia untuk diasuh oleh ibu harimau (mungkin imajinasi gue agak absurd, tapi teruslah membaca). Setiap hari, ibu harimau mengasuh bayi tersebut dengan penuh cinta dan kasih sayang. Ibu harimau juga memberikan pengetahuan tentang cara harimau berjalan dan berlari. 

Pertanyaanya, apakah seorang manusia akan berubah fitrahnya menjadi harimau dikarenakan diasuh dan diajari oleh harimau? Nggak mungkin, dong. Secara biologis, manusia memiliki postur tubuh dan jeroan yang berbeda dengan harimau. Harimau memang sudah di-program oleh Yang Maha Kuasa untuk makan protein lebih banyak, berjalan menggunakan empat kaki, dan volume otak yang ala kadarnya. Sementara manusia udah di-program untuk berjalan menggunakan dua kaki, mengonsumsi nggak cuman protein tapi juga kacang-kacangan dan tumbuh-tumbuhan, dan mempunyai volume otak paling besar diantara seluruh mahluk hidup di muka bumi ini. Pada akhirnya, manusia tetap menjadi manusia, dan harimau tetaplah harimau.

Jadi, itulah mengapa nature dan nurture sama-sama memiliki porsi dalam menciptakan kemampuan manusia. Tentu saja, harus ada perbedaan, batasan, dan ukuran yang jelas antara mana yang nature dan mana yang nurture. Tapi jelas, statement yang gue ajukan ini tidaklah bersifat ilmiah, karena gue belum menyajikan bukti dan data yang mendukung pernyataan ini. Harus diteliti dulu, coy!

Nggak cuman penelitian. Seorang psikolog juga perlu ukuran untuk mendiagnosis dan menentukan apakah seseorang memiliki penyakit secara psikologis. Mereka juga perlu ukuran untuk menentukan variabel-variabel yang akan diukur, contoh: jenis kepribadian, tingkat IQ, tingkat stres, dan lain sebagainya. Semuanya diukur berdasarkan standarisasinya. Makanya psikologi punya tiga ‘senjata’ andalan untuk melakukan pengukuran, yaitu observasi, wawancara, dan menggunakan alat tes psikologi.

Observasi adalah suatu metode dimana peneliti secara hati-hati dan sistematis melakukan pengamatan dan merekam perilaku tanpa mencampuir perilaku yang muncul (Wade & Tarvis, 2007). Wawancara adalah metode tanya jawab secara langsung antara pewawancara dan yang diwawancara untuk mengetahui lebih jelas dari pertanyaan-pertanyaan yang akan ditanyakan. Tes psikologi adalah alat ukur yang objektif dan dibakukan atas sampel dengan perilaku tertentu (Anastasi & Urbina, 2007). Sebuah alat tes harus valid dan reliabel. Valid disini artinya adalah mengukur apa yang ingin diukur. Reliabel disini maksudnya adalah hasil dari pengukurannya sama walaupun dilaksanakan pada waktu yang berbeda. Ribet? Mungkin. Asik? Jelas!

Makanya, kembali gue bilang bahwa untuk bisa ‘membaca’ seseorang dibutuhkan pengukuran yang jelas, valid, dan reliabel. Jadi, kalau kamu pengen ‘dibaca’ sama psikolog janganlah langsung nanya di tempat. Tapi pergilah ke para psikolog yang buka praktek. Tentunya, bayar.

Pengen tau jenis-jenis tes apa aja yang umumnya ada di psikologi? Kapan-kapan, ya. Kebetulan semester ini lagi ada kuliah Psikodiagnostik 1. Jadi, akhirnya gue bisa juga deh belajar ‘ngebaca’ orang.. Sikasik! Hahaha. 

Cukup sekian yah dari gue, mudah-mudahan apa yang gue sharing bisa bermanfaaat bagi para pembaca yang budiman, budimin, watiman, watimin, ngatiman, dan ngatimin. Sampai berjumpa di kesempatan selanjutnya!

Referensi:

Anestesi, A., & Urbina, S. (2007) Tes Psikologi. Jakarta: PT Indeks.

Baharuddin (2007) Psikologi Pendidikan: Refleksi Teoretis terhadap Fenomena. Jakarta: Ar-Ruzz Media Group

Idrus, M. (2009) Metode Penelitian Ilmu Sosial. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Kim, A. (2006) Wilhelm Maximilian Wundt. Stanford Encyclopedia of Philosophy. Diambil dari http://plato.stanford.edu/entries/wilhelm-wundt/index.html#note-94

Sarwono, S. W. (2009) Pengantar Psikologi Umum. Jakarta: Rajawali Pers.

Smith, E. E., Nolen-hoeksama, S., Fredrickson, B. L., & Maren, S. (2003) Atkinson & Hilgard's Introduction To Psychology (14th ed.). Belmont, CA: Wadsworth/Thomson Learning.

Wade, C., & Tarvis, C. (2007) Psikologi (edisi ke-9). Jakarta: Penerbit Erlangga.

4 komentar:

  1. hahahahahaha...pesulap dan penulis plus psikolog...cool Sob..keep on writing and make the world smile with your creativity...and make the better 1ndONEsia...!

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehehe thank you mas seta, let's make a better nation for Indonesia! :-D :-D :-D

      Hapus
  2. Keren! Tapi lebih keren lagi kalo blognya dipasangi Blogger Gadget Freestyle Marawis Competition yang tersedia di http://festival.baitulamin.org

    BalasHapus

feel free to comment :)